BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan dan kekuasaan tidak
terlepas dari manusia. Ilmu pengetahuan merupakan sistem yang dikembangkan
manusia untuk mengetahui keadaannya dan lingkungannya, serta menyesuaikan
dirinya dengan lingkungan, atau menyesuaikan lingkungan dengan dirinya dalam
rangka strategi hidupnya. Ilmu itu diolah ke dalam atau mejadi teknologi untuk
diterapkan. Dengan demikian, tujuan teknologi menjadi jelas dan pengembangannya
terarah dan bersasaran, yaitu untuk kesejahteraan, kemudahan, dan keuntungan
bagi manusia. “Dalam pandangan Paul Devis sains menawarkan jalan yang lebih
pasti menuju Tuhan ketimbang agama.
Saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi telah maju dengan
sangat pesat. Teknologi modern dalam era globalisasi ini telah mencapai kemajuan
yang luar biasa. Tetapi, mustahil akan ada titik terakhir, karena ilmu-ilmu
baru dan berbagai konsekuensinya akan terus bermunculan. Ilmu sendiri memiliki
segi positif dan negatif. Segi positifnya, ilmu pengetahuan dapat meringankan
kehidupan manusia. Tenaga alam membebaskan manusia dari perbudakan, mesin
membebaskan manusia dari pekerjaan yang monoton, mesin cerdas membebaskan
manusia dari berpikir, dan pengobatan membebaskan manusia dari rasa sakit.
Sedangkan sisi negatifnya, ilmu pengetahuan dapat menghasilkan alat perang,
apalagi jika disalahgunakan seperti ketika bom atom diledakkan. Untuk itulah
seorang ilmuwan maupun penguasa harus harus bermoral, bertanggung jawab, diikat
oleh kode etik dan aturan-aturan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Ilmu Pengetahuan dan
Kekuasaan
Kekuasaan
atau power adalah sebuah kekuatan memonopoli individu lain atau publik atas
segala sesuatu dengan tujuan-tujuan tertentu menggunakan otoritas pribadi
seseorang ataupun sebuah sistem yang disebut penguasa. Contohnya konkretnya
seperti mantan presiden RI Soeharto yang merupakan penguasa rezim orde baru,
Adolf Hitler yang menguasai Jerman dan membantai Yahudi dengan rezim NAZI-nya,
dan sebagainya.
Sedangkan
ilmu pengetahuan adalah, seperti yang kita ketahui bersama, konsep-konsep
kehidupan yang kemudian dijadikan bahan pembelajaran untuk diketahui oleh
publik yang diperoleh dengan menggunakan panca indera manusia. Kekuasaan adalah
sebuah sistem yang sulit terlepas dari ilmu pengetahuan. Kedua hal ini saling
berkaitan, dan kaitannya tersebut sangatlah kuat yang mampu menembus dimensi
waktu sehingga hubungan antara keduanya bisa dirasakan oleh masyarakat sejak
berabad-abad dahulu hingga era teknologi saat ini.
B.
Landasan Epistemologis
Epistemologi
merupakan cabang ilmu filsafat yang menggeluti masalah-masalah yang bersifat
menyeluruh dan mendasar mengenai pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Jadi objek
material filsafat ilmu adalah pengetahuan dan objek formal atau segi
tinjauannya adalah menangkap, menemukan ciri-ciri umum pengetahuan, dan
bagaimana proses manusia dapat memperoleh pengetahuan dan bagaimana kebenaran
pengetahuan manusia dapat diuji dan dipertanggungjawabkan. Terdapat tiga teori
mengenai kebenaran, antara lain:
1.
The correspondence theory of truth. Menurut teori ini, kebenaran
atau itu berupa kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan
apa yang sungguh merupakan faktanya.
2.
The consistence theory of truth. Menurut teori ini,
kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain,
yaitu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu
sendiri. Dengan kata lain bahwa kebenaran ditegaskan atas hubungan antara yang
baru itu dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan kita akui
benarnya terlebih dahulu.
3.
The pragmatic theory of truth. Benar tidaknya sesuatu
ucapan, dalil, atau teori semata-mata bergantung kepada berfaedah tidaknya
ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam
kehidupannya. Dari tiga teori tersebut dapat disimpulkan bahwa kebenaran adalah
kesesuaian arti dengan fakta yang ada dengan putusan-putusan lain yang telah
kita akui kebenarannya dan tergantung kepada kemanfaatan teori tersebut bagi
kehidupan manusia. Dalam tulisan ini akan dikaji masalah ilmu pengetahuan dan
kekuasaan dari sudut pandang epistemologis, dan bagaimana pemanfaatan ilmu
tersebut dalam kaitannya dengan kekuasaan.
C.
Hubungan Ilmu Pengetahuan dan
Kekuasaan
Merujuk
pada analisis Why Religion Matters, saat memasuki abad modern, mulai terjadi
pembunuhan pada agama. Hal itu dilakukan oleh dua raksasa yang berkuasa, yaitu
kekuasaan politik (politikisme) dan kekuasaan sains (saintisme) yang tersimpul
dalam satu ideologi modern yakni sekularisme. Sains dalam balutan sekularisme
berubah menjadi saintisme, berdiri atas nama metode ilmiah, yang menggantikan
posisi wahyu sebagai jalan menuju pengetahuan. Secara konseptual, itu membentuk
pandangan dunia ilmiah, sementara teknologinya membentuk dunia modern. Sebagai
akibatnya, agama dipinggirkan. Saintisme telah mengobarkan peperangan melawan
agama, dengan menyatakan kemenangan mutlaknya terhadap kekuatan takhayul,
dogma, dan ilmu pengetahuan semu.
Saintisme
adalah sebuah ideologi yang dibangun berdasar pada sebuah asumsi bahwa ilmu
bisa memberikan pengetahuan mengenai segala sesuatu yang ingin kita ketahui.
Hanya ada satu realitas, yaitu yang alami, dan ilmu pengetahuan memonopoli
pengetahuan kita tentang alam. Maka saintisme adalah sebuah agama sekuler. Banyak para ahli membuktikan bahwa
sains dan teknologi tidak bersifat netral. Tetapi, sebagian besar ilmuwan saat
ini meyakini netralitas sains.
Karena
sains merupakan suatu upaya yang bebas nilai, maka perbedaan antara berbagai
tradisi ilmiah, sepenuhnya timbul pada tingkat justifikasi, bukan pada tingkat
eksperimen dan cara kerja. Jadi, ketika seorang saintis, baik Muslim, Kristen,
Hindu, atau ateis mengamati komponen kimiawi mineral, mereka akan melihat
sesuatu yang sama, bekerja pada perangkat elemen yang sama, menurut perangkat
kondisi yang sama, dan akan sampai pada kesimpulan yang sama. Seperti halnya
ilmu pengetahuan, teknologi juga bersifat netral, manusialah yang
menerapkannya, dan manusialah yang bertanggungjawab atas teknologi manusia yang
bekerja sendiri, atau melalui perusahaan atau pemerintah.
Teknologi
merupakan sarana utama untuk kemajuan, atau bagi kematian, begitu manusia telah
memilih menggunakannya. Kita tidak punya pilihan selain mengendalikan
teknologi. Jika kita tiak mengendalikannya, maka teknologi akan menguasai kita.
Jadi, sekalipun kita sepakat ilmu pengetahuan dan teknologi bersifat netral dan
bebas nilai, maka kita harus tetap memperhitungkannya disaat mempergunakannya
dalam kehidupan ini. Sebab, sifat netralnya tersebut membuat sains dan
teknologi bisa digunakan oleh siapa saja, dan untuk apa saja, kebaikan atau
keburukan.
Ini
berarti, sains dan teknologi sangat bergantung pada sifat manusia yang
menggunakannya. Jika manusianya berpegang pada nilai-nilai mulia, maka sains
dan teknologi akan berjalan menuju arah kemajuan peradaban dan kesejahteraan
manusia. Inilah diantara sisi positifnya. Namun jika sains dan teknologi
dikuasai oleh para manusia-manusia rakus dan haus kekuasaan maka hanya akan
menjadi alat politisasi untuk melestarikan kekuasaanya yang merusak. Misalnya,
teknologi nuklir. Teknologi merupakan hasil kemajuan sains dalam analisanya
terhadap semesta.
Krisis energi yang dialami manusia, bisa
teratasi dengan adanya energi nuklir. Inilah diantara manfaat positifnya.
Namun, tatkala manusia mengambil keputusan untuk memanfaatkan teknologi nuklir
guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendesak kehidupannya, Para penguasa dunia
yang haus kekuasaan memaksa para ilmuan untuk membuat bom nuklir. Bom-bom
nuklir ini berada di tangan orang-orang yang haus kekuasan. Dengan bom itu, ia
mengancam dan menakut-nakuti siapa saja yang hendak menghirup udara kebebasan.
Di sini, kemampuan manusia untuk mencipta telah menjadi tawanan orang-orang
yang haus kekuasaan. Pada titik ini, ilmu dan teknologi tak mendapatkan
kebebasannya.
Murtadha
Muthahhari menggambarkan kondisi sains sebagai alat kekuasaan, sebagai berikut:
“Sekiranya Anda memperhatikan dengan teliti, niscaya Anda mengetahui bahwa
seandainya ada seorang ilmuan menemukan sesuatu yang baru atau seorang ahli
psikologi mahir, maka kekuatan politik yang berkuasa akan segera berusaha
mendapatkan dan memaksanya untuk bekerja demi kepentingan mereka. Abad ini adalah abad di mana ilmuan
dan ilmu pengetahuan dijadikan alat bagi mencapai cita-cita para penguasa.
“Dari sini kita memahami bahwa di samping mempunyai kemajuan dan perkembangan,
manusia juga mempunyai kemungkinan untuk menyimpang.
Para
guru akhlak/etika telah memberitahukan kepada kita sejak berabad-abad yang lalu
tentang hal ini. Mereka mengingatkan bahwa ilmu pengetahuan yang dikuasai seseorang
tidak menunjukkan bahwa ia akan menggunakannya demi kepentingan dan
kesejahteraan umat manusia. Sebab, mungkin saja. Ada seorang berilmu yang
memanfaatkan ilmunya demi kepentingan syahwatnya. Atau kerja keras para ilmuan
dalam bidang pengetahuan dan teknologi dieksploitasi oleh sekelompok orang
untuk maksud-maksud kejahatan dan ambisi kekuasaan. Karena itulah, sains sebagai pelayan
kekuasaan memang telah menjadi fenomena abad ini.
Manusia
dikatakan sebagai makhluk berakal dan dengan akallah manusia beragama dan
berpengetahuan. Karena itu, sains sebagai hasil penalaran akal tidak layak
digunakan sebagai penolak keagamaan, begitu pula agama yang disimpulkan dengan
argumentasi-argumentasi rasional mustahil menafikan ilmu pengetahuan. Demikian
juga terhadap dunia politis, manusia merupakan makhluk terbaik hasil kreasi
Tuhan, dijadikan sebagai pengemban amanah untuk memakmurkan jagat raya.
Kemakmuran hanya didapatkan dengan sistem amanah bukan kekuasaan. Amanah ini
didasarkan pada kepercayaan dan tanggung jawab, sedangkan kekuasaan diazaskan
dengan kepemilikan dan kebebasan.
Karenanya,
pengelolaan semesta dengan amanah akan menghasilkan pemeliharaan yang sesuai
dengan karakteristik alam semesta, sedangkan pengelolaan berdasarkan kekuasaan
dan kepemilikan hanya akan memberlakukan alam sesuai dengan keinginan dan
kesenangan.
Secara jujur mesti diakui bahwa manusia mengharapkan kesempurnaan diri. Di zaman prailmiah, kekuasaan adalah
milik Tuhan. Tidak banyak yang dapat dilakukan manusia dalam kondisi yang
paling baik sekalipun dan keadaan itu akan memburuk sama sekali jika manusia
terkena kemarahan Tuhan.
Sebaliknya,
dalam dunia ilmu pengetahuan, semuanya berbeda. Segala sesuatu berjalan sesuai
yang kita kehendaki dengan pengetahuan tentang hukum alam. Hasil pengetahuan
dalam bidang komunikasi dan informasi telah digunakan untuk membelokkan
informasi sesuai kepentingan politik dan kekuasaan, siapa yang menguasai
informasi dialah yang dapat menguasai dunia. Misalnya, informasi dari Barat
yang menyatakan Islam identik dengan terorisme, sedangkan Amerika dan Israel
yang menyerang Irak dan Palestina justru dibela terutama oleh sekutunya dan
mendapat bantuan dana untuk melaksanakan serangan tersebut.
Dalam hal ekonomi, era pasar bebas akan
menguntungkan negara maju yang otomatis memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi
yang maju juga sehingga semakin membuat negara miskin semakin miskin (lingkaran
setan kemiskinan). Membanjirnya produk ilmu pengetahuan dan teknologi
memunculkan konsumerisme, sehingga terjadi homo homini lupus (manusia adalah
serigala bagi manusia lainnya). Mereka yang berilmu tinggi akan dapat menipu
yang berilmu rendah, sebagaimana ungkapan Francis Bacon bahwa ”ilmu adalah
kekuasaan” (knowledge is power). Jika ilmu adalah kekuasaan maka teknologi merupakan
alat kekuasaan. Hal yang sulit dihindari tentang ilmu pengetahuan dan teknologi
adalah kekuasaan. Saat seseorang berkuasa, ilmu pengetahuan yang dimilikinya
akan memengaruhi segala kebijakannya.
Kekuasaan
sebagai kompleks strategi dinamis bisa diperankan individu atau institusi, dan
kekuasaan bekerja berdasarkan mekanisme kerja ilmu pengetahuan yang dimiliki.
”Modus operandi” pengaruh penguasa terhadap ilmu pengetahuan dapat
dikategorikan ke dalam dua cara. Pertama secara melembaga, yaitu tidak adanya kebebasan
pendidikan tinggi untuk tanpa dicampuri oleh kekuasaan luar. Kedua secara
perseorangan, yakni menyangkut kebebasan seseorang untuk belajar, mengajar, dan
melaksanakan penelitian serta mengemukakan pendapatnya sehubungan dengan
kegiatan tersebut tanpa ada pembatasan kecuali dari dirinya sendiri.
Namun
peran ilmuwan dan kaum intelektual sebagai pengendali dan agen perubahan
ternyata juga dikuasai kepentingan kekuasaan. Mereka yang awalnya melontarkan
berbagai gagasan kritis akhirnya juga ikut larut menikmati kekuasaan dan
mengingkari idealismenya sendiri. Mereka menampilkan kesan sebagai pemecah
masalah, namun dalam banyak hal lebih terlihat sebagai pembuat masalah. Hal ini
menunjukkan bahwa posisi kaum ilmuwan dan intelektual rentan dipengaruhi kepentingan
penguasa, baik penguasa negara maupun penguasa modal (uang).
Jadi,
seorang ilmuwan yang mengadakan penelitian harus sanggup menggunakan
kebebasannya hanya untuk melakukan kebaikan, akan berusaha untuk mempergunakan
ilmu pengetahuan dan teknologi demi kebahagiaan umat manusia, dan memperbaiki
taraf hidup manusia. Demikian halnya para penguasa dengan wewenangnya untuk
mengambil kebijakan juga harus bertanggung jawab atas pemanfaatan hasil ilmu
pengetahuan tersebut sehingga tidak terjadi penyalahgunaan yang pada akhirnya
malah akan merugikan manusia sendiri.
D. Perkembangan
Ilmu Pengetahuan dan Kekuasaan
Kekuasaan
dan ilmu pengetahuan sebenarnya bukanlah hal yang baru. Keduanya memang
memiliki keterkaitan yang sangat erat satu sama lain. Di Indonesia sendiri,
pada zaman kolonialisme Eropa adalah saat-saat dimana asupan ilmu pengetahuan
bagi rakyat sangat terbatas. Hanya keluarga keturunan ningrat dan bangsawan,
pegawai atau petinggi Verenidge Oost Compagnie (VOC) yang saat itu merupakan
satu-satunya lembaga pemerintahan di Indonesia serta saudagar-saudagar kaya
yang bekerja sama dengan para kompeni yang pantas mendapatkan ilmu pengetahuan
melalui pendidikan formal seperti sekolah, sebelum para revolusionis pendidikan
lahir seperti KH. Ahmad Dahlan dan gerakan pembaharu seperti Budi Utomo
mengawali nasionalisasi pendidikan di Indonesia.
Masyarakat
kecil pada zaman itu benar-benar tidak memilki kesempatan sedikitpun untuk
memperoleh ilmu pengetahuan melalui bangku sekolah. Mereka yang sadar akan
pentingnya ilmu hanya belajar dari proses otodidak secara mandiri yang juga
hanya sebatas ilmu dasar seperti membaca dan berhitung, untuk sekedar bisa
diamalkan di kehidupan sehari-hari. Tidak berhenti di situ saja, ternyata
Indonesia masih mengalami kapitalisasi pendidikan pasca zaman kolonialisme.
Di
masa rezim orde baru, perkembangan ilmu pengetahuan juga masih terikat oleh
penguasa yang tidak memberi kebebasan kepada masyarakat untuk mengeksplorasi
ilmunya dari apa yang ia ketahui. Terbukti dari adanya beberapa manipulasi
sejarah yang dipublikasikan yang samasekali berbeda dengan apa yang benar-benar
terjadi dan tidak memperdulikan saksi-saksi sejarah yang valid, yang sangat
berguna untuk menjaga nama baik dan menutupi kejahatan orde baru bersama
orang-orang dibalik penguasanya.
Pengetahuan
tentang sejarah seakan-akan dijadikan doktrin bagi masyarakat untuk diyakini,
bukan sebagai ilmu untuk dipelajari. Ilmu pengetahuan juga bisa di back
up oleh sesuatu yang terikat seperti kekuasaan dan menjadi bagian dari sistem
kekuasaan itu sendiri. Namun, bukan hanya kekuasaan saja yang mengakari ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan juga bisa dijadikan dasar atau landasan untuk
memperoleh kekuasaan. Logikanya, semakin banyak seseorang menguasai ilmu
pengetahuan, maka semakin tinggi pula status sosialnya. Dan semakin tinggi
status sosial seseorang, maka semakin besar pula peluang yang dimilikinya untuk
berkuasa. Contoh konkretnya adalah Amerika Serikat. Alasan mengapa negeri yang
dijuluki Paman Sam ini didaulat menjadi negara Adikuasa oleh negara-negara lain
di dunia, terlepas dari kemenangannya melawan Uni Soviet di Perang Dingin,
adalah karena negara inilah yang memiliki akses informasi terbesar diantara
negara lain di seluruh dunia. Amerika dengan segala pengetahuannya perihal
teknologi informatika, mampu menguasai sebagian dunia untuk menjadi sekutunya.
Dengan
ilmuwannya Amerika mampu membuat peralatan tempur nan canggih, mampu mampu
mendirikan perguruan-perguruan tinggi terkemuka dengan almamater hebat, dan
hal-hal lain yang membuatnya manjadi negeri Super Power. Melihat hal di atas
ungkapan knowledge is power (pengetahuan adalah kekuasaan) bisa dibilang benar.
Pengetahuan dan kekuasaan itu seperti laut dan langit, dimana warna laut akan
selalu dipengaruhi oleh warna langit. Ketika cerah, air laut akan berwarna biru
jernih. Ketika mendung, air laut menjadi kelabu dan ketika malam, air laut akan
berubah menjadi hitam. Seperti itulah kekuasaan dan ilmu pengetahuan saling
mepengaruhi dan mengikat satu sama lain, sehingga dalam perjalanan ilmu
pengetahuan dari masa ke masa, kekuasaan akan selalu membayangi orisinilitasnya
dan ilmu pengetahuan akan selalu berorientasi pada kekuasaan itu sendiri.
BAB III
PENUTUP
Kekuasaan
adalah sebuah sistem yang sulit terlepas dari ilmu pengetahuan. Kedua hal ini
saling berkaitan, dan kaitannya tersebut sangatlah kuat yang mampu menembus
dimensi waktu sehingga hubungan antara keduanya bisa dirasakan oleh masyarakat
sejak berabad-abad dahulu hingga era teknologi saat ini. Hubungan antara ilmu pengetahuan
dan kekuasaan itu sendiri telah lama ada. hubungan ilmu pengetahuan dan
kekuasaan tidaklah sederhana karena kekuasaan dan ilmu pegetahuan adalah dua
hal yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain.
Kekuasaan
mampu menentukan kebijakan mengenai ilmu pengetahuan yang boleh dikonsumsi oleh
masyarakat, dan ilmu pengetahuan juga bisa mempengaruhi bahkan menjadi
indikator status sosial seseorang untuk menjadi penguasa. Di atas telah
disinggung bahwa kehadiran berbagai produk ilmu pengetahuan teknologi itu tidak
lepas dari pengaruh kekuasaan. Pengaruh kekuasaan itu ada yang dijadikan
pembenaran untuk menyalahgunakan ilmu pengetahuan. Untuk itu, kita perlu
merenungkan kembali secara mendasar mengenai hakikat ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan yang baik bertanggung jawab atas perubahan zaman dan bermanfaat
bagi semua orang, bukan segelintir orang atau kelompok tertentu saja.
Ilmu pengetahuan adalah untuk kemanusiaan dan
bukan untuk kekuasaan. Kebenaran ilmiah itu sendiri tidaklah bersifat mutlak,
tetapi relatif. Benar pada saat ini belum tentu benar di masa depan. Agama juga
diperlukan agar pemanfaatan ilmu pengetahuan itu tidak disalahgunakan oleh
kekuasaan.
DAFTAR PUSTAKA
·
Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2010.
·
Budiarjo, Mariam. Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. XVII.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2004.
·
Davies, Paul. Tuhan, Doktrin dan Rasionalitas. Yogyakarta:
Fajar Pustaka Baru. 2002.
·
Foucault, Michel. Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan,
Penerjemah Tahayu S. Hidayat. Yogyakarta: PT Tiara Wacana. t.th.
·
Graeber, David. Beyond Power/Knowledge an exploration of the
relation of power. ignorance and stupidity. t.tp: LSE. 2006.
·
Harvey, Richard Brown. The Sociological Quarterly, Volume
34. College Park: Department of Sociology University of Maryland. 1993.
·
J.B. Blikololong, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar. t.t.:
Universitas Gunadarma. t.th.
·
Juan R. I Cole, Power, Knowledge and Orientalism. New York:
Alfred A. Knopf, 1993.
·
Lapham, Lewis H. Teknologi Canggih dan Kebebasan Manusia.
Jakarta: Obor. 1989.
·
Lewis,Bernard. Islam and the West. New York: Oxford
University Press. 1993.
·
Muthahhari, Murtadha. Islam dan Tantangan Zaman. Bandung:
Pustaka Hidayah. 1996.
·
Peters, Ted. Tuhan, Alam, Manusia : Perspektif Sains dan
Agama. Bandung: Mizan. 2006.
·
Russel, Betraand. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2007.
·
Said, Edward W. Culture and Imperialism. New York: Oxford.
1990.
·
Smith, Huston. Ajal Agama di Tengah Kedigdayaan Sains.
Bandung: Mizan. 2003.
·
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar