Rabu, 20 Juni 2012

Makalah Ilmu Pengetahuan dan Kekuasaan


BAB I
PENDAHULUAN


Ilmu pengetahuan dan kekuasaan tidak terlepas dari manusia. Ilmu pengetahuan merupakan sistem yang dikembangkan manusia untuk mengetahui keadaannya dan lingkungannya, serta menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, atau menyesuaikan lingkungan dengan dirinya dalam rangka strategi hidupnya. Ilmu itu diolah ke dalam atau mejadi teknologi untuk diterapkan. Dengan demikian, tujuan teknologi menjadi jelas dan pengembangannya terarah dan bersasaran, yaitu untuk kesejahteraan, kemudahan, dan keuntungan bagi manusia. “Dalam pandangan Paul Devis sains menawarkan jalan yang lebih pasti menuju Tuhan ketimbang agama.
Saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi telah maju dengan sangat pesat. Teknologi modern dalam era globalisasi ini telah mencapai kemajuan yang luar biasa. Tetapi, mustahil akan ada titik terakhir, karena ilmu-ilmu baru dan berbagai konsekuensinya akan terus bermunculan. Ilmu sendiri memiliki segi positif dan negatif. Segi positifnya, ilmu pengetahuan dapat meringankan kehidupan manusia. Tenaga alam membebaskan manusia dari perbudakan, mesin membebaskan manusia dari pekerjaan yang monoton, mesin cerdas membebaskan manusia dari berpikir, dan pengobatan membebaskan manusia dari rasa sakit. Sedangkan sisi negatifnya, ilmu pengetahuan dapat menghasilkan alat perang, apalagi jika disalahgunakan seperti ketika bom atom diledakkan. Untuk itulah seorang ilmuwan maupun penguasa harus harus bermoral, bertanggung jawab, diikat oleh kode etik dan aturan-aturan.





BAB II
PEMBAHASAN


A.    Definisi Ilmu Pengetahuan dan Kekuasaan
Kekuasaan atau power adalah sebuah kekuatan memonopoli individu lain atau publik atas segala sesuatu dengan tujuan-tujuan tertentu menggunakan otoritas pribadi seseorang ataupun sebuah sistem yang disebut penguasa. Contohnya konkretnya seperti mantan presiden RI Soeharto yang merupakan penguasa rezim orde baru, Adolf Hitler yang menguasai Jerman dan membantai Yahudi dengan rezim NAZI-nya, dan sebagainya.
Sedangkan ilmu pengetahuan adalah, seperti yang kita ketahui bersama, konsep-konsep kehidupan yang kemudian dijadikan bahan pembelajaran untuk diketahui oleh publik yang diperoleh dengan menggunakan panca indera manusia. Kekuasaan adalah sebuah sistem yang sulit terlepas dari ilmu pengetahuan. Kedua hal ini saling berkaitan, dan kaitannya tersebut sangatlah kuat yang mampu menembus dimensi waktu sehingga hubungan antara keduanya bisa dirasakan oleh masyarakat sejak berabad-abad dahulu hingga era teknologi saat ini.

B.     Landasan Epistemologis
Epistemologi merupakan cabang ilmu filsafat yang menggeluti masalah-masalah yang bersifat menyeluruh dan mendasar mengenai pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Jadi objek material filsafat ilmu adalah pengetahuan dan objek formal atau segi tinjauannya adalah menangkap, menemukan ciri-ciri umum pengetahuan, dan bagaimana proses manusia dapat memperoleh pengetahuan dan bagaimana kebenaran pengetahuan manusia dapat diuji dan dipertanggungjawabkan. Terdapat tiga teori mengenai kebenaran, antara lain:
1.      The correspondence theory of truth. Menurut teori ini, kebenaran atau itu berupa kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh merupakan faktanya.
2.      The consistence theory of truth. Menurut teori ini, kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan kata lain bahwa kebenaran ditegaskan atas hubungan antara yang baru itu dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan kita akui benarnya terlebih dahulu.
3.      The pragmatic theory of truth. Benar tidaknya sesuatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata bergantung kepada berfaedah tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Dari tiga teori tersebut dapat disimpulkan bahwa kebenaran adalah kesesuaian arti dengan fakta yang ada dengan putusan-putusan lain yang telah kita akui kebenarannya dan tergantung kepada kemanfaatan teori tersebut bagi kehidupan manusia. Dalam tulisan ini akan dikaji masalah ilmu pengetahuan dan kekuasaan dari sudut pandang epistemologis, dan bagaimana pemanfaatan ilmu tersebut dalam kaitannya dengan kekuasaan.


C.    Hubungan Ilmu Pengetahuan dan Kekuasaan
Merujuk pada analisis Why Religion Matters, saat memasuki abad modern, mulai terjadi pembunuhan pada agama. Hal itu dilakukan oleh dua raksasa yang berkuasa, yaitu kekuasaan politik (politikisme) dan kekuasaan sains (saintisme) yang tersimpul dalam satu ideologi modern yakni sekularisme. Sains dalam balutan sekularisme berubah menjadi saintisme, berdiri atas nama metode ilmiah, yang menggantikan posisi wahyu sebagai jalan menuju pengetahuan. Secara konseptual, itu membentuk pandangan dunia ilmiah, sementara teknologinya membentuk dunia modern. Sebagai akibatnya, agama dipinggirkan. Saintisme telah mengobarkan peperangan melawan agama, dengan menyatakan kemenangan mutlaknya terhadap kekuatan takhayul, dogma, dan ilmu pengetahuan semu.
Saintisme adalah sebuah ideologi yang dibangun berdasar pada sebuah asumsi bahwa ilmu bisa memberikan pengetahuan mengenai segala sesuatu yang ingin kita ketahui. Hanya ada satu realitas, yaitu yang alami, dan ilmu pengetahuan memonopoli pengetahuan kita tentang alam. Maka saintisme adalah sebuah agama sekuler. Banyak para ahli membuktikan bahwa sains dan teknologi tidak bersifat netral. Tetapi, sebagian besar ilmuwan saat ini meyakini netralitas sains.
Karena sains merupakan suatu upaya yang bebas nilai, maka perbedaan antara berbagai tradisi ilmiah, sepenuhnya timbul pada tingkat justifikasi, bukan pada tingkat eksperimen dan cara kerja. Jadi, ketika seorang saintis, baik Muslim, Kristen, Hindu, atau ateis mengamati komponen kimiawi mineral, mereka akan melihat sesuatu yang sama, bekerja pada perangkat elemen yang sama, menurut perangkat kondisi yang sama, dan akan sampai pada kesimpulan yang sama. Seperti halnya ilmu pengetahuan, teknologi juga bersifat netral, manusialah yang menerapkannya, dan manusialah yang bertanggungjawab atas teknologi manusia yang bekerja sendiri, atau melalui perusahaan atau pemerintah.
Teknologi merupakan sarana utama untuk kemajuan, atau bagi kematian, begitu manusia telah memilih menggunakannya. Kita tidak punya pilihan selain mengendalikan teknologi. Jika kita tiak mengendalikannya, maka teknologi akan menguasai kita. Jadi, sekalipun kita sepakat ilmu pengetahuan dan teknologi bersifat netral dan bebas nilai, maka kita harus tetap memperhitungkannya disaat mempergunakannya dalam kehidupan ini. Sebab, sifat netralnya tersebut membuat sains dan teknologi bisa digunakan oleh siapa saja, dan untuk apa saja, kebaikan atau keburukan.
Ini berarti, sains dan teknologi sangat bergantung pada sifat manusia yang menggunakannya. Jika manusianya berpegang pada nilai-nilai mulia, maka sains dan teknologi akan berjalan menuju arah kemajuan peradaban dan kesejahteraan manusia. Inilah diantara sisi positifnya. Namun jika sains dan teknologi dikuasai oleh para manusia-manusia rakus dan haus kekuasaan maka hanya akan menjadi alat politisasi untuk melestarikan kekuasaanya yang merusak. Misalnya, teknologi nuklir. Teknologi merupakan hasil kemajuan sains dalam analisanya terhadap semesta.
 Krisis energi yang dialami manusia, bisa teratasi dengan adanya energi nuklir. Inilah diantara manfaat positifnya. Namun, tatkala manusia mengambil keputusan untuk memanfaatkan teknologi nuklir guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendesak kehidupannya, Para penguasa dunia yang haus kekuasaan memaksa para ilmuan untuk membuat bom nuklir. Bom-bom nuklir ini berada di tangan orang-orang yang haus kekuasan. Dengan bom itu, ia mengancam dan menakut-nakuti siapa saja yang hendak menghirup udara kebebasan. Di sini, kemampuan manusia untuk mencipta telah menjadi tawanan orang-orang yang haus kekuasaan. Pada titik ini, ilmu dan teknologi tak mendapatkan kebebasannya.
Murtadha Muthahhari menggambarkan kondisi sains sebagai alat kekuasaan, sebagai berikut: “Sekiranya Anda memperhatikan dengan teliti, niscaya Anda mengetahui bahwa seandainya ada seorang ilmuan menemukan sesuatu yang baru atau seorang ahli psikologi mahir, maka kekuatan politik yang berkuasa akan segera berusaha mendapatkan dan memaksanya untuk bekerja demi kepentingan mereka. Abad ini adalah abad di mana ilmuan dan ilmu pengetahuan dijadikan alat bagi mencapai cita-cita para penguasa. “Dari sini kita memahami bahwa di samping mempunyai kemajuan dan perkembangan, manusia juga mempunyai kemungkinan untuk menyimpang.
Para guru akhlak/etika telah memberitahukan kepada kita sejak berabad-abad yang lalu tentang hal ini. Mereka mengingatkan bahwa ilmu pengetahuan yang dikuasai seseorang tidak menunjukkan bahwa ia akan menggunakannya demi kepentingan dan kesejahteraan umat manusia. Sebab, mungkin saja. Ada seorang berilmu yang memanfaatkan ilmunya demi kepentingan syahwatnya. Atau kerja keras para ilmuan dalam bidang pengetahuan dan teknologi dieksploitasi oleh sekelompok orang untuk maksud-maksud kejahatan dan ambisi kekuasaan. Karena itulah, sains sebagai pelayan kekuasaan memang telah menjadi fenomena abad ini.
Manusia dikatakan sebagai makhluk berakal dan dengan akallah manusia beragama dan berpengetahuan. Karena itu, sains sebagai hasil penalaran akal tidak layak digunakan sebagai penolak keagamaan, begitu pula agama yang disimpulkan dengan argumentasi-argumentasi rasional mustahil menafikan ilmu pengetahuan. Demikian juga terhadap dunia politis, manusia merupakan makhluk terbaik hasil kreasi Tuhan, dijadikan sebagai pengemban amanah untuk memakmurkan jagat raya. Kemakmuran hanya didapatkan dengan sistem amanah bukan kekuasaan. Amanah ini didasarkan pada kepercayaan dan tanggung jawab, sedangkan kekuasaan diazaskan dengan kepemilikan dan kebebasan.
Karenanya, pengelolaan semesta dengan amanah akan menghasilkan pemeliharaan yang sesuai dengan karakteristik alam semesta, sedangkan pengelolaan berdasarkan kekuasaan dan kepemilikan hanya akan memberlakukan alam sesuai dengan keinginan dan kesenangan. Secara jujur mesti diakui bahwa manusia mengharapkan kesempurnaan diri. Di zaman prailmiah, kekuasaan adalah milik Tuhan. Tidak banyak yang dapat dilakukan manusia dalam kondisi yang paling baik sekalipun dan keadaan itu akan memburuk sama sekali jika manusia terkena kemarahan Tuhan.
Sebaliknya, dalam dunia ilmu pengetahuan, semuanya berbeda. Segala sesuatu berjalan sesuai yang kita kehendaki dengan pengetahuan tentang hukum alam. Hasil pengetahuan dalam bidang komunikasi dan informasi telah digunakan untuk membelokkan informasi sesuai kepentingan politik dan kekuasaan, siapa yang menguasai informasi dialah yang dapat menguasai dunia. Misalnya, informasi dari Barat yang menyatakan Islam identik dengan terorisme, sedangkan Amerika dan Israel yang menyerang Irak dan Palestina justru dibela terutama oleh sekutunya dan mendapat bantuan dana untuk melaksanakan serangan tersebut.
 Dalam hal ekonomi, era pasar bebas akan menguntungkan negara maju yang otomatis memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang maju juga sehingga semakin membuat negara miskin semakin miskin (lingkaran setan kemiskinan). Membanjirnya produk ilmu pengetahuan dan teknologi memunculkan konsumerisme, sehingga terjadi homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya). Mereka yang berilmu tinggi akan dapat menipu yang berilmu rendah, sebagaimana ungkapan Francis Bacon bahwa ”ilmu adalah kekuasaan” (knowledge is power). Jika ilmu adalah kekuasaan maka teknologi merupakan alat kekuasaan. Hal yang sulit dihindari tentang ilmu pengetahuan dan teknologi adalah kekuasaan. Saat seseorang berkuasa, ilmu pengetahuan yang dimilikinya akan memengaruhi segala kebijakannya.
Kekuasaan sebagai kompleks strategi dinamis bisa diperankan individu atau institusi, dan kekuasaan bekerja berdasarkan mekanisme kerja ilmu pengetahuan yang dimiliki. ”Modus operandi” pengaruh penguasa terhadap ilmu pengetahuan dapat dikategorikan ke dalam dua cara. Pertama secara melembaga, yaitu tidak adanya kebebasan pendidikan tinggi untuk tanpa dicampuri oleh kekuasaan luar. Kedua secara perseorangan, yakni menyangkut kebebasan seseorang untuk belajar, mengajar, dan melaksanakan penelitian serta mengemukakan pendapatnya sehubungan dengan kegiatan tersebut tanpa ada pembatasan kecuali dari dirinya sendiri.
Namun peran ilmuwan dan kaum intelektual sebagai pengendali dan agen perubahan ternyata juga dikuasai kepentingan kekuasaan. Mereka yang awalnya melontarkan berbagai gagasan kritis akhirnya juga ikut larut menikmati kekuasaan dan mengingkari idealismenya sendiri. Mereka menampilkan kesan sebagai pemecah masalah, namun dalam banyak hal lebih terlihat sebagai pembuat masalah. Hal ini menunjukkan bahwa posisi kaum ilmuwan dan intelektual rentan dipengaruhi kepentingan penguasa, baik penguasa negara maupun penguasa modal (uang).
Jadi, seorang ilmuwan yang mengadakan penelitian harus sanggup menggunakan kebebasannya hanya untuk melakukan kebaikan, akan berusaha untuk mempergunakan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kebahagiaan umat manusia, dan memperbaiki taraf hidup manusia. Demikian halnya para penguasa dengan wewenangnya untuk mengambil kebijakan juga harus bertanggung jawab atas pemanfaatan hasil ilmu pengetahuan tersebut sehingga tidak terjadi penyalahgunaan yang pada akhirnya malah akan merugikan manusia sendiri.

 D. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Kekuasaan
Kekuasaan dan ilmu pengetahuan sebenarnya bukanlah hal yang baru. Keduanya memang memiliki keterkaitan yang sangat erat satu sama lain. Di Indonesia sendiri, pada zaman kolonialisme Eropa adalah saat-saat dimana asupan ilmu pengetahuan bagi rakyat sangat terbatas. Hanya keluarga keturunan ningrat dan bangsawan, pegawai atau petinggi Verenidge Oost Compagnie (VOC) yang saat itu merupakan satu-satunya lembaga pemerintahan di Indonesia serta saudagar-saudagar kaya yang bekerja sama dengan para kompeni yang pantas mendapatkan ilmu pengetahuan melalui pendidikan formal seperti sekolah, sebelum para revolusionis pendidikan lahir seperti KH. Ahmad Dahlan dan gerakan pembaharu seperti Budi Utomo mengawali nasionalisasi pendidikan di Indonesia.
Masyarakat kecil pada zaman itu benar-benar tidak memilki kesempatan sedikitpun untuk memperoleh ilmu pengetahuan melalui bangku sekolah. Mereka yang sadar akan pentingnya ilmu hanya belajar dari proses otodidak secara mandiri yang juga hanya sebatas ilmu dasar seperti membaca dan berhitung, untuk sekedar bisa diamalkan di kehidupan sehari-hari. Tidak berhenti di situ saja, ternyata Indonesia masih mengalami kapitalisasi pendidikan pasca zaman kolonialisme.
Di masa rezim orde baru, perkembangan ilmu pengetahuan juga masih terikat oleh penguasa yang tidak memberi kebebasan kepada masyarakat untuk mengeksplorasi ilmunya dari apa yang ia ketahui. Terbukti dari adanya beberapa manipulasi sejarah yang dipublikasikan yang samasekali berbeda dengan apa yang benar-benar terjadi dan tidak memperdulikan saksi-saksi sejarah yang valid, yang sangat berguna untuk menjaga nama baik dan menutupi kejahatan orde baru bersama orang-orang dibalik penguasanya.
Pengetahuan tentang sejarah seakan-akan dijadikan doktrin bagi masyarakat untuk diyakini, bukan sebagai ilmu untuk dipelajari. Ilmu pengetahuan juga bisa di back up oleh sesuatu yang terikat seperti kekuasaan dan menjadi bagian dari sistem kekuasaan itu sendiri. Namun, bukan hanya kekuasaan saja yang mengakari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan juga bisa dijadikan dasar atau landasan untuk memperoleh kekuasaan. Logikanya, semakin banyak seseorang menguasai ilmu pengetahuan, maka semakin tinggi pula status sosialnya. Dan semakin tinggi status sosial seseorang, maka semakin besar pula peluang yang dimilikinya untuk berkuasa. Contoh konkretnya adalah Amerika Serikat. Alasan mengapa negeri yang dijuluki Paman Sam ini didaulat menjadi negara Adikuasa oleh negara-negara lain di dunia, terlepas dari kemenangannya melawan Uni Soviet di Perang Dingin, adalah karena negara inilah yang memiliki akses informasi terbesar diantara negara lain di seluruh dunia. Amerika dengan segala pengetahuannya perihal teknologi informatika, mampu menguasai sebagian dunia untuk menjadi sekutunya.
Dengan ilmuwannya Amerika mampu membuat peralatan tempur nan canggih, mampu mampu mendirikan perguruan-perguruan tinggi terkemuka dengan almamater hebat, dan hal-hal lain yang membuatnya manjadi negeri Super Power. Melihat hal di atas ungkapan knowledge is power (pengetahuan adalah kekuasaan) bisa dibilang benar. Pengetahuan dan kekuasaan itu seperti laut dan langit, dimana warna laut akan selalu dipengaruhi oleh warna langit. Ketika cerah, air laut akan berwarna biru jernih. Ketika mendung, air laut menjadi kelabu dan ketika malam, air laut akan berubah menjadi hitam. Seperti itulah kekuasaan dan ilmu pengetahuan saling mepengaruhi dan mengikat satu sama lain, sehingga dalam perjalanan ilmu pengetahuan dari masa ke masa, kekuasaan akan selalu membayangi orisinilitasnya dan ilmu pengetahuan akan selalu berorientasi pada kekuasaan itu sendiri.



BAB III
PENUTUP


Kekuasaan adalah sebuah sistem yang sulit terlepas dari ilmu pengetahuan. Kedua hal ini saling berkaitan, dan kaitannya tersebut sangatlah kuat yang mampu menembus dimensi waktu sehingga hubungan antara keduanya bisa dirasakan oleh masyarakat sejak berabad-abad dahulu hingga era teknologi saat ini. Hubungan antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan itu sendiri telah lama ada. hubungan ilmu pengetahuan dan kekuasaan tidaklah sederhana karena kekuasaan dan ilmu pegetahuan adalah dua hal yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain.
Kekuasaan mampu menentukan kebijakan mengenai ilmu pengetahuan yang boleh dikonsumsi oleh masyarakat, dan ilmu pengetahuan juga bisa mempengaruhi bahkan menjadi indikator status sosial seseorang untuk menjadi penguasa. Di atas telah disinggung bahwa kehadiran berbagai produk ilmu pengetahuan teknologi itu tidak lepas dari pengaruh kekuasaan. Pengaruh kekuasaan itu ada yang dijadikan pembenaran untuk menyalahgunakan ilmu pengetahuan. Untuk itu, kita perlu merenungkan kembali secara mendasar mengenai hakikat ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang baik bertanggung jawab atas perubahan zaman dan bermanfaat bagi semua orang, bukan segelintir orang atau kelompok tertentu saja.
 Ilmu pengetahuan adalah untuk kemanusiaan dan bukan untuk kekuasaan. Kebenaran ilmiah itu sendiri tidaklah bersifat mutlak, tetapi relatif. Benar pada saat ini belum tentu benar di masa depan. Agama juga diperlukan agar pemanfaatan ilmu pengetahuan itu tidak disalahgunakan oleh kekuasaan.


DAFTAR PUSTAKA

·         Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010.
·         Budiarjo, Mariam. Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. XVII. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2004.
·         Davies, Paul. Tuhan, Doktrin dan Rasionalitas. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. 2002.
·         Foucault, Michel. Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan, Penerjemah Tahayu S. Hidayat. Yogyakarta: PT Tiara Wacana. t.th.
·         Graeber, David. Beyond Power/Knowledge an exploration of the relation of power. ignorance and stupidity. t.tp: LSE. 2006.
·         Harvey, Richard Brown. The Sociological Quarterly, Volume 34. College Park: Department of Sociology University of Maryland. 1993.
·         J.B. Blikololong, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar. t.t.: Universitas Gunadarma. t.th.
·         Juan R. I Cole, Power, Knowledge and Orientalism. New York: Alfred A. Knopf, 1993.
·         Lapham, Lewis H. Teknologi Canggih dan Kebebasan Manusia. Jakarta: Obor. 1989.
·         Lewis,Bernard. Islam and the West. New York: Oxford University Press. 1993.
·         Muthahhari, Murtadha. Islam dan Tantangan Zaman. Bandung: Pustaka Hidayah. 1996.
·         Peters, Ted. Tuhan, Alam, Manusia : Perspektif Sains dan Agama. Bandung: Mizan. 2006.
·         Russel, Betraand. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.
·         Said, Edward W. Culture and Imperialism. New York: Oxford. 1990.
·         Smith, Huston. Ajal Agama di Tengah Kedigdayaan Sains. Bandung: Mizan. 2003.
·         Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2002.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar