1. Keluarga
yang Broken Home
Masa remaja
adalah masa yang dimana seorang sedang mengalami saat kritis sebab ia akan
menginjak ke masa dewasa. Remaja berada dalam masa peralihan. Dalam masa
peralihan itu pula remaja sedang mencari identitasnya. Dalam proses
perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan dirinya, remaja
membutuhkan pengertian dan bantuan dari orang yang dicintai dan dekat dengannya
terutama orang tua atau keluarganya. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa
fungsi keluarga adalah memberi pengayoman sehingga menjamin rasa aman maka
dalam masa kritisnya remaja sungguh-sungguh membutuhkan realisasi fungsi
tersebut. Sebab dalam masa yang kritis seseorang kehilangan pegangan yang
memadai dan pedoman hidupnya. Masa kritis diwarnai oleh konflik-konflik
internal, pemikiran kritis, perasaan mudah tersinggung, cita-cita dan kemauan
yang tinggi tetapi sukar ia kerjakan sehingga ia frustasi dan sebaginya.
masalah keluarga yang broken home bukan menjadi masalah baru tetapi merupakan
masalah yang utama dari akar-akar kehidupan seorang anak. Keluarga merupakan
dunia keakraban dan diikat oleh tali batin, sehingga menjadi bagian yang vital
dari kehidupannya.
Penyebab
timbulnya keluarga yang broken home antara lain:
a. Orang tua
yang bercerai
Perceraian
menunjukkan suatu kenyataan dari kehidupan suami istri yang tidak lagi dijiwai
oleh rasa kasih sayang dasar-dasar perkawinan yang telah terbina bersama telah
goyah dan tidak mampu menompang keutuhan kehidupan keluarga yang harmonis.
Dengan demikian hubungan suami istri antara suami istri tersebut makin lama
makin renggang, masing-masing atau salah satu membuat jarak sedemikian rupa
sehingga komunikasi terputus sama sekali. Hubungan itu menunjukan situas
keterasingan dan keterpisahan yang makin melebar dan menjauh ke dalam dunianya
sendiri. jadi ada pergeseran arti dan fungsi sehingga masing-masing merasa
serba asing tanpa ada rasa kebertautan yang intim lagi.
b.
Kebudayaan bisu dalam keluarga
Kebudayaan
bisu ditandai oleh tidak adanya komunikasi dan dialog antar anggota keluarga.
Problem yang muncul dalam kebudayaan bisu tersebut justru terjadi dalam
komunitas yang saling mengenal dan diikat oleh tali batin. Problem tersebut
tidak akan bertambah berat jika kebudayaan bisu terjadi diantara orang yang
tidak saling mengenal dan dalam situasi yang perjumpaan yang sifatnya sementara
saja. Keluarga yang tanpa dialog dan komunikasi akan menumpukkan rasa frustasi
dan rasa jengkel dalam jiwa anak-anak. Bila orang tua tidak memberikan
kesempatan dialog dan komunikasi dalam arti yang sungguh yaitu bukan basa basi
atau sekedar bicara pada hal-hal yang perlu atau penting saja; anak-anak tidak
mungkin mau mempercayakan masalah-masalahnya dan membuka diri. Mereka lebih
baik berdiam diri saja. Situasi kebudayaan bisu ini akan mampu mematikan
kehidupan itu sendiri dan pada sisi yang sama dialog mempunyai peranan yang
sangat penting. Kenakalan remaja dapat berakar pada kurangnya dialog dalam masa
kanak-kanak dan masa berikutnya, karena orangtua terlalu menyibukkan diri
sedangkan kebutuhan yang lebih mendasar yaitu cinta kasih diabaikan. Akibatnya
anak menjadi terlantar dalam kesendirian dan kebisuannya. Ternyata perhatian
orangtua dengan memberikan kesenangan materiil belum mampu menyentuh
kemanusiaan anak. Dialog tidak dapat digantikan kedudukannya dengan benda mahal
dan bagus. Menggantikannya berarti melemparkan anak ke dalam sekumpulan benda
mati.
c. Perang
dingin dalam keluarga
Dapat
dikatakan perang dingin adalah lebih berat dari pada kebudayaan bisu. Sebab
dalam perang dingin selain kurang terciptanya dialog juga disisipi oleh rasa
perselisihan dan kebencian dari masing-masing pihak. Awal perang dingin dapat
disebabkan karena suami mau memenangkan pendapat dan pendiriannya sendiri, sedangkan
istri hanya mempertahankan keinginan dan kehendaknya sendiri.
Dalam
mengatasi kenakalan remaja yang paling dominan adalah dari keluarga yang
merupakan lingkungan yang paling pertama ditemui seorang anak. Di dalam
menghadapi kenakalan anak pihak orang tua kehendaknya dapat mengambil dua sikap
bicara yaitu:
1. Sikap
atau cara yang bersifat preventif
Yaitu
perbuatan/tindakan orang tua terhadap anak yang bertujuan untuk menjauhkan si
anak daripada perbuatan buruk atau dari lingkungan pergaulan yang buruk. Dalam
hat sikap yang bersifat preventif, pihak orang tua dapat memberikan atau
mengadakan tindakan sebagai berikut :
a.
Menanamkan rasa disiplin dari ayah terhadap anak.
b.
Memberikan pengawasan dan perlindungan terhadap anak oleh ibu.
c.
Pencurahan kasih sayang dari kedua orang tua terhadap anak.
d. Menjaga
agar tetap terdapat suatu hubungan yang bersifat intim dalam satu ikatan
keluarga.
Disamping
keempat hal yang diatas maka hendaknya diadakan pula:
a.
Pendidikan agama untuk meletakkan dasar moral yang baik dan berguna.
b.
Penyaluran bakat si anak ke arab pekerjaan yang berguna dan produktif.
c. Rekreasi
yang sehat sesuai dengan kebutuhan jiwa anak.
d.
Pengawasan atas lingkungan pergaulan anak sebaik-baiknya.
1. Sikap
atau cara yang bersifat represif
Yaitu pihak
orang tua hendaknya ikut serta secara aktif dalam kegiatan sosial yang
bertujuan untuk menanggulangi masalah kenakalan anak seperti menjadi anggota
badan kesejahteraan keluarga dan anak, ikut serta dalam diskusi yang khusus
mengenai masalah kesejahteraan anak-anak. Selain itu pihak orang tua terhadap
anak yang bersangkutan dalam perkara kenakalan hendaknya mengambil sikap
sebagai berikut :
a.
Mengadakan introspeksi sepenuhnya akan kealpaan yang telah diperbuatnya
sehingga menyebabkan anak terjerumus dalam kenakalan.
b. Memahami
sepenuhnya akan latar belakang daripada masalah kenakalan yang menimpa anaknya.
c. Meminta
bantuan para ahli (psikolog atau petugas sosial) di dalam mengawasi
perkembangan kehidupan anak, apabila dipandang perlu.
d. Membuat
catatan perkembangan pribadi anak sehari-hari.
Abstrak
Penelitian
ini berangkat dari fenomena yang terjadi di lapangan bahwa motivasi belajar
siswa memberi pengaruh pada prestasi belajamya. Hal ini dapat disebabkan oleh
faktor lingkungan keluarga yang merupakan tempat pertama dan utama anak tumbuh
dan berkembang, bersosialisasi bahkan mengenal dirinya sendiri.
Fenomena di
atas mendorong penulis untuk mengkaji lebih jauh mengenai ” Dampak Keluarga
Broken Home terhadap Motivasi Belajar Siswa ”
Keluarga
broken home yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ketidakutuhan keluarga ,
baik secara stniktural maupun secara fungsional.
Penelitian
ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapat gambaran motivasi belajar siswa yang
berasal dari keluarga broken home.
Sampel
penelitian ini adalah siswa kelas dua di SMP Negeri Baleendah 2 Kabupaten
Bandung dengan sampel sebanyak 48 orang siswa. Pengambilan data dilakukan
dengan studi dokumentasi terhadap buku pribadi siswa dan penyebaran angket
untuk mengungkap motivasi belajar siswa.
Pengolahan
data dilakukan melalui tiga tahap, yaitu penyeleksian data, penyekoran serta
analisis dengan cara mengelompokkan data dan menggunakan teknik uji t perbedaan
dua rata-rata yang menghasilkan kesimpulan bahwa :
1. Terdapat
perbedaan motivasi belajar antara siswa berasal dari keluarga broken home
dengan motivasi belajar siswa dari keluarga utuh.
2. Motivasi
belajar siswa dari keluarga broken home lebih rendah daripada motivasi belajar
siswa dari keluarga utuh
3. Keadaan
keluarga broken home memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap motivasi
belajar siswa.
Penelitian
ini menghasilkan rekomendasi yang ditujukan pada peneliti selanjutnya untuk
meneliti variabel yang sama dengan jumlah sampel yang relatif lebih besar
sehingga hasil penelitian lebih representatif.
BH”. Jika
kita mendengar kata itu, pikiran kita tertuju pada pakaian dalam perempuan.
Tetapi untuk “BH” yang satu ini mempunyai arti yang lain. Broken Home (BH). Yah
itulah artinya.
“BH” atau
dengan arti kata lain perpecahan dalam keluarga merupakan salah satu masalah
yang kerap terjadi dalam kehidupan berumah tangga. Apalagi di era digital yang
seakan serba mudah dan bebas. Perkawinan dan perceraian sudah merupakan hal
yang biasa dan sudah dianggap tidak tabu lagi. Itu sudah menjadi masalah tiap
komunitas keluarga di muka bumi ini.
Di dalam
konflik rumah tangga terutama konflik antara suami– istri kadang menimbulkan
ha-hal yang berdampak negative. Salah satu dampak negatif dari konflik yang
terjadi dalam rumah tangga yang paling dominan adalah dampak terhadap
perkembangan anak. Aktor utama “BH” (suami istri) kadang jarang memikirkan
dampak apakah yang akan terjadi pada anak-anaknya apabila terjadi perpecahan
atau perpisahan rumah tangga.
Di artikel sederhana ini saya ingin memberikan gambaran-gambaran singkat, padat dan mudah-mudahan jelas kepada para orang tua. Tentunya mengenai dampak apa yang akan terjadi pada anak — yang nantinya menjadi korban konflik orang tua—apabila terjadi konflik dalam rumah tangga dan harus berakhir dengan “BH”.
Di artikel sederhana ini saya ingin memberikan gambaran-gambaran singkat, padat dan mudah-mudahan jelas kepada para orang tua. Tentunya mengenai dampak apa yang akan terjadi pada anak — yang nantinya menjadi korban konflik orang tua—apabila terjadi konflik dalam rumah tangga dan harus berakhir dengan “BH”.
Kejiwaan
Seorang anak korban “BH” akan mengalami tekanan mental yang berat. Di lingkungannya. Misalnya, dia akan merasa malu dan minder terhadap orang di sekitarnya karena kondisi orang tuanya yang sedang dalam keadaan “BH”. Di sekolah, disamping menjadi gunjingan teman sekitar, proses belajarnya juga terganggu karena pikirannya tidak terkonsentrasi ke pelajaran. Anak itu akan menjadi pendiam dan cenderung menjadi anak yang menyendiri serta suka melamun.
Seorang anak korban “BH” akan mengalami tekanan mental yang berat. Di lingkungannya. Misalnya, dia akan merasa malu dan minder terhadap orang di sekitarnya karena kondisi orang tuanya yang sedang dalam keadaan “BH”. Di sekolah, disamping menjadi gunjingan teman sekitar, proses belajarnya juga terganggu karena pikirannya tidak terkonsentrasi ke pelajaran. Anak itu akan menjadi pendiam dan cenderung menjadi anak yang menyendiri serta suka melamun.
Pikiran-pikiran
dan bayangan-bayangan negatif seperti menyalahkan takdir yang seolah membuat
keluarganya seperti itu. Seakan sudah tidak ada rasa percaya terhadap kehidupan
religi yang sudah mendarah daging sejak dia lahir dan lainnya. Tekanan mental
itu mempengaruhi kejiwaannya sehingga dapat mengakibatkan stress dan frustrasi
bahkan seorang anak bisa mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Hal seperti itu
bisa saja terjadi, apabila …?
Pelampiasan
Diri
Kemungkinan
terjemus dalam pengaruh negatif bagi orang tua (dewasa) dalam konteks BH ini
sangat kecil. Orang tua dapat mencari solusi untuk menenangkan pikirannya.
Namun berbeda dengan seorang anak yang sedang menghadapi situasi BH. Anak-anak
dapat saja terjerumus dalam hal-hal negatif, apalagi dengan media informasi dan
komunikasi yang menawarkan banyak hal. Contoh konkritnya, merokok, minuman
keras (alkohol), obat-obat terlarang (narkoba) bahkan pergaulan bebas yang
menyesatkan.
Refleksi
Mungkin mudah bagi orang tua untuk memvonis keputusan tentang perpisahan atau perpecahan dalam rumah tangga, tapi apakah mudah bagi anak-anak mereka untuk dapat menerima hal itu? Entalah! Itu merupakan pertanyaan reflektif bagi orang tua!
Mungkin mudah bagi orang tua untuk memvonis keputusan tentang perpisahan atau perpecahan dalam rumah tangga, tapi apakah mudah bagi anak-anak mereka untuk dapat menerima hal itu? Entalah! Itu merupakan pertanyaan reflektif bagi orang tua!
Perpecahan
dalam rumah tangga memang merupakan masalah yang tidak mudah untuk dilepaskan
dari kehidupan dalam rumah tangga. Memang jika kita mengkaji lebih jauh kita
akan dapat memahami sebagai suatu persoalan yang wajar-wajar saja. Tetapi,
apakah hal itu dapat dikendalikanya? Memang sulit untuk menjawabnya dan
jawabanya kembali kepada orang tua (ayah-ibu) atau pelaku dalam konflik rumah tangga
itu sendiri.
Kita sering
melihat kasus-kasus perceraian artis dan perebutan hak asuh anak sampai menyewa
pengacara di layar televisi. Perceraian bagi para artis seakan meningkatkan
posisi tawar (popularitas) sehingga harus menggunakan pengacara yang terkenal.
Mereka tidak pernah berpikir siapa yang akan dirugikan dalam permasalahan
mereka. Mereka hanya memikirkan popularitas dan diri sendiri dan menganggap
semuanya dapat dibeli dengan uang. Namun, kenyataananya apa yang mereka lakukan
itu merupakan kekalahan bagi anak-anak mereka dan jelas hal itu akan menjadi
trauma yang berkepanjangan pada psikis anak mereka.
Orang tua
harus mampu mengendalikan diri dalam menyikapi masalah ini, jangan sampai
permasalahan mereka secara tidak langsung menjadi doktrin boomerang negatif
yang akan berkembang dalam psikis anak. Orang tua sebagai panutan sekaligus
guru yang menjadi contoh bagi anak dalam belajar untuk hidup melalui berbagai
proses yang semuanya tak lepas dari tanggung jawab mereka. Anak akan tumbuh dan
berkembang dengan baik bila orang tua juga mampu untuk mengontrol dan mengatasi
persoalan mereka sendiri tanpa harus mensosialisasikan perbedaan pendapat yang
mengarah ke konflik keluarga kepada anak.
Apakah
sebagai orang tua senang jika anaknya menjadi hancur dalam kehidupanya di saat
mereka ingin tumbuh dan berkembang dengan cinta kasih orang tuanya? Tentu saja
jawabnya pasti “tidak” dan orang tua paling tolol yang hanya diam dan tak
berpendapat. Oleh sebab itu sebagai orang tua berusahalah untuk mengendalikan
hidup dalam situasi apapun demi anak-anak kalian, jangan sampai BH menjadi
budaya penghancur kehidupan anak yang notabene adalah buah hati kalian sendiri
dan titipan TUHAN.
selain orang tua dan lingkungan apa lagi yang bisa mempengaruhi kenakalan remaja?apa gen dari orang tua juga mempengaruhi (maksudnya: orang tuanya juga dulunya nakal)?
BalasHapus